Selasa, Juni 1

hubungan antara komunikasi interpersonal perawat dengan sikap pasien terhadap rumah sakit


BAB I
1.1 Latar Belakang

Masalah kesehatan adalah masalah bangsa yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak sehingga diperlukan implementasi yang nyata tentang bagaimana mekanisme pelayanan kesehatan yang baik dan benar. Jika pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan secara baik dan benar maka akan memberikan efek di segala bidang. Terutama dapat meningkatkan kemampuan perekonomian bangsa karena telah terjadi peningkatan produktivitas setiap penduduk yang sehat dalam bekerja.

Kabutuhan masyarakat akan sebuah pelayanan kesehatan semakin meningkat, karena mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak semua orang. Sebagai hak asasi manusia, sehat menjadi investasi bagi kelangsungan kehidupan. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban untuk menyehatkan yang sakit dan mempertahankan yang sehat.

Walaupun kesehatan menjadi harapan semua masyarakat, namun tidak jarang segelintir oknum petugas kesehatan masih belum mampu memberikan pelayanan sebagaimana yang diharapkan. Pasalnya, pelayanan kesehatan bersinggungan langsung dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Masyarakat selalu melihat sistem pelayanan kesehatan dari bentuk, kenyamanan, dan pelayanan yang diterima. Kenyataan di lapangan, tuntutan masyarakat semakin meningkat terhadap setiap jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
1

Sering kita mendengar kritik dan kecaman dari berbagai lapisan masyarakat, terhadap sistem pelayanan kesehatan yang kurang bermutu dan tidak profesional, atau kurang empati dalam melakukan program pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit.
Rumah sakit sebagai perusahaan yang termasuk dalam katagoripublic
service, yaitu perusahaan yang bergerak di bidang jasa pelayanan kesehatan selalu

dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal demi kepuasan pasien sebagai pengguna jasa. Keputusan pasien untuk memeriksakan sakitnya ke rumah sakit tertentu sangat dipengaruhi oleh pelayanan prima sehingga dapat memberikan rasa kepuasan dan kepercayaan.

Berkaitan dengan jasa yang dilaksanakan oleh rumah sakit dalam upaya untuk memberikan kepuasan dan menumbuhkan kepercayaan pihak pelanggannya yaitu pasien, pelayanan melalui kiat pelayanan prima tidaklah cukup hanya dengan melakukan proses administrasi dengan cepat, tetapi juga bagaimana para tenaga medis dapat memperlakukan pasien sebaik mungkin agar terbentuk sikap positf dari si pasien yang akan berdampak pada citra positif dari rumah sakit itu sendiri. Salah satu bentuk perlakuan yang baik dari tenaga medis kepada pasien adalah melalui komunikasi yang terjalin diantara keduanya, dalam hal ini adalah perawat dan pasien.

Keperawatan pada intinya adalah sebuah proses interpersonal. Dimana seorang perawat yang kompeten harus menjadi seorang komunikator yang efektif dalam menjalankan proses komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal
2

adalah suatu komunikasi yang bersifat langsung, tatap muka, segera mendapat tanggapan dan tujuan untuk mempengaruhi lawan bicara. Komunikasi interpersonal juga selalu berada dalam suasana dialogis. Artinya dalam komunikasi interpersonal tidak hanya terjadi komunikasi satu arah, melainkan terjadi komunikasi timbal balik atau dua arah. Dalam konteks ini, perawat dan pasien dapat berperan secara aktif dalam setiap interaksi komunikasi.

Komunikasi dilakukan perawat dalam menjaga kerjasama yang baik dengan pasien untuk membantu memenuhi kebutuhan kesehatan pasien. Kelemahan dalam berkomunikasi merupakan masalah yang serius baik bagi perawat maupun pasien. Perawat yang enggan berkomunikasi dengan menunjukkan raut muka yang tegang akan berdampak serius bagi pasien. Pasien akan merasa tidak nyaman bahkan terancam dengan sikap perawat. Kondisi ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap proses penyembuhan pasien.

Secara tidak langsung, komunikasi interpersonal antara perawat dengan pasien dapat memberikan pengaruh bagi perkembangan pemulihan psikologis pasien itu sendiri. Penyampaian pesan yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien, akan selalu berhasil jika pasien dengan senang hati bersedia mengikuti beberapa informasi yang disampaikan oleh perawat sebagai komunikator. Hal ini berarti bahwa pesan yang disampaikan perawat dapat diterima dengan baik dan dapat dimengerti dengan mudah oleh pasien. Karena itu diperlukan sebuah bentuk komunikasi yang bukan hanya sebagai kegiatan memberikan informasi saja, melainkan pemberian informasi atau pesan yang berbobot yang mengandung nilai motivasi bagi pasien untuk dapat mengubah sikap, opini atau perilaku pasien yaitu
3

melalui komunikasi interpersonal. Seorang perawat yang mampu melakukan komunikasi interpersonal yang efektif dapat membuat pasien nyaman dan memiliki pengalaman yang baik selama memperoleh pelayanan dari rumah sakit. Bertolak dari kondisi ini bukan tidak memungkinkan bagi pasien untuk datang kembali ke rumah sakit tersebut jika memerlukan pelayanan kesehatan, dan dapat dengan senang hati menceritakan pengalaman baiknya itu kepada teman, kerabat, atau keluarganya.

Dalam melayani pasiennya, penerapan komunikasi yang efektif akan membantu untuk membentuk persepsi dan sikap positf terhadap rumah sakit, sehingga perawat harus mampu bertindak sebagai komunikator yang baik untuk membuat pasien percaya kepada rumah sakit. Maka perawat sebagai komunikator perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu kepercayaan diri, kebersatuan, manajemen interaksi, daya ekspresi, dan orientasi terhadap orang lain, dimana ke lima hal tersebut akan menciptakan sebuah komunikasi interpersonal yang efektif.

Pada kenyataannya, sering kali kegiatan komunikasi diabaikan dan dianggap kurang penting oleh perawat pada suatu rumah sakit. Perawat menganggap bahwa pada saat pasien datang ke rumah sakit, pasien tersebut hanya memerlukan pertolongan kesehatan yang bersifat medis. Padahal, selain pertolongan medis, pasien juga membutuhkan pertolongan non medis. Salah satunya adalah melalui pendekatan individual yang dilakukan oleh perawat. Itulah sebabnya mengapa komunikasi merupakan komponen penting dalam praktik pelayanan keperawatan. Mendengarkan perasaan pasien dan menjelaskan
4
prosedur tindakan keperawatan adalah contoh teknik-teknik komunikasi yang
dilakukan oleh perawat selama praktik.

Komunikasi interpersonal yang efektif merupakan sukses perawat dalam mengatasi masalah dan pemenuhan kebutuhan pasien akan pelayanan kesehatan. Perawat tidak dapat lepas dari proses komunikasi interpersonal karena dalam menjalankan perannya, perawat perlu berkolaborasi dengan pasien dan tim kesehatan yang lain.

Pentingnya peranan komunikasi interpersonal dalam pelayan kesehatan ini pun menjadi perhatian dari segenap tenaga kesehatan yang berada di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin. Sebagai salah satu rumah sakit milik pemerintah daerah tingkat I Kalimantan Selatan, RSUD Ulin terus melakukan pembenahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. RSUD Ulin adalah salah satu dari 32 rumah sakit di Indonesia yang diusulkan menjadi BLUD (Badan Layanan Umum Daerah).
Mengapa Bapak yakin dengan menjadi Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD) maka Rumah Sakit Ulin akan lebih berkembang?

“Saya yakin demikian karena melihat potensi SDM dan sarana prasarana yang dimiliki rumah sakit ini. Sekarang tinggal bagaimana sikap anggota DPRD Kalsel saja dalam hal ini. Untuk diketahui bahwa RSUD Ulin adalah salah satu dari 32 rumah sakit di Indonesia yang diusulkan menjadi BLUD.”
Andaikan RSUD Ulin nantinya disetujui jadi BLUD, bagaimana SDM
rumah sakit harus bersikap?

“Sikap perilaku SDM memang menjadi penting dalam BLUD, karena kini telah terjadi pergeseran dan modal sarana dan prasarana canggih ke modal intelektual berdasarkan knowledge (pengetahuan). Banyak perilaku kurang baik yang masih dilakukan oleh SDM rumah sakit seperti: memberikan pelayanan sambil mengunyah makanan, permen karet, kerupuk, kue kering, kue basah dan lain-lain. Demikian juga saat memberikan pelayanan dengan posisi tubuh malas, santai, ngantuk, separuh tertidur dan bertele- tele. Juga tidak boleh dengan gaya yang garang, bicara keras, melotot,
5

membentak dan muka masam, tanpa perhatian, acuh tak acuh, atau cuek bebek di depan pasien. Sebaliknya juga jangan memberikan pelayanan dengan banyak gaya, banyak gerak, genit dan manja. Apalagi sambil main- main, bercanda, atau seperti ngobrol dengan teman.”1

Bagi rumah sakit ini keberhasilan perawat dalam komunikasi interpersonal merupakan representative dari rumah sakit yang baik, dimana perawat sebagai ujung tombak pemberi pelayanan keperawatan pada pasien dan menjadi penghubung pelayanan kesehatan terkuat dengan pasien dan keluarganya di masyarakat. Harapan pasien berada pada bantuan, pengetahuan, keterampilan serta sikap profesional perawat yang pada tujuan akhirnya pasien akan cepat mengalami kemandirian dan pemulihan kesehatannya.

Sebagai salah satu profesi yang selalu berhubungan dan berinteraksi langsung dengan pasien, para perawat di RSUD Ulin Banjarmasin menyadari bahwa kegiatan komunikasi interpersonal tidak dapat di abaikan dan dianggap tidak penting dalam pelayanan yang mereka berikan.

Melalui komunikasi interpersonal yang terjalin antara perawat dengan pasien, kebutuhan pasien akan pelayanan terpenuhi. Mengetahui dan memahami sikap pasien sangat penting bagi rumah sakit, sebagai tolak ukur untuk terus meningkatkan pelayanan yang mampu membentuk, menguatkan, dan mengubah sikap pasien, sehingga rumah sakit dapat menciptakan dan mempertahankan loyalitas pasien terhadap rumah sakit.
1www.rsudul i n.co m
Wawancara dr Hanna Permana Subanegara, MARS
Chairman Assosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA)
6

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis akan melakukan penelitian lebih jauh mengenai hubungan antara komunikasi interpersonal perawat dengan sikap pasien terhadap rumah sakit.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan melakukan penelitian
dengan rumusan masalah: “Apakah ada hubungan antara komunikasi
interpersonal perawat dengan sikap pasien terhadap rumah sakit”
1.3 Identifikasi Masalah
Berkaitan dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka
penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.Apakah ada hubungan antara kepercayaan diri perawat dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit?
2.Apakah ada hubungan antarakebersatuan perawat dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit?
3.Apakah ada hubungan antara manajemen interaksi perawat dengan
kognisi, afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit?
4.Apakah ada hubungan antara daya ekspresi perawat dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit?
7
5.Apakah ada hubungan antara orientasi kepada orang lain dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1.Apakah ada hubungan antara kepercayaan diri perawat dengan kognisi, afeksi,
dan konaksi pasien terhadap rumah sakit.
2.Apakah ada hubungan antarakeber s amanan perawat dengan kognisi, afeksi,
dan konaksi pasien terhadap rumah sakit.
3.Apakah ada hubungan antara manajemen interaksi perawat dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit.
4.Apakah ada hubungan antara daya ekspresi perawat dengan kognisi, afeksi,
dan konaksi pasien terhadap rumah sakit.
5.Apakah ada hubungan antara orientasi kepada orang lain dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit.
8
1.5 Kegunaan Penelitian
1.5.1 Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan manfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi, khususnya pada ilmu komunikasi interpersonal atau antar pribadi.
1.5.2 Praktis

Memberikan masukan kepada RSUD Ulin Banjarmasin, terutama ditujukan untuk perawat dalam memberikan pelayanan pada pasiennya melalui komunikasi interpersonal secara efektif.
1.6 Kerangka Pemikiran
1.6.1 Kerangka Teoritis
Penelitian ini mengacu pada Teori Pertukaran Sosial atauExchange
Theory dari Thibault & Kelley yang memandang hubungan interpersonal sebagai

suatu transaksi dagang (Rakhmat, 2004b: 121). Dalam teori ini, orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.
Thibault & Kelley mengatakan bahwa asumsi dari Teori Pertukaran Sosial
(Exchange Theory) adalah “Setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal
9

dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari sisi ganjaran dan biaya. Ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok teori ini.” (Rakhmat, 2004b: 121).
Ganjaran adalah sikap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang

dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan orang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain.
Ganjaran merupakan segala sesuatu yang membuat komunikasi
interpersonal antara perawat dengan pasien menjadi efektif.
Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu

hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat di dalamnya.

Biaya dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang telah dikeluarkan oleh pasien untuk menyembuhkan penyakitnya, seperti uang, waktu, dan kecemasan.
Hasilatau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seseorang individu
merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba
sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. Laba akan
10

diperoleh apabila pasien merasa puas dengan pelayanan yang diberikan rumah sakit, termasuk diantaranya adalah pelayanan dalam komunikasi yang diberikan oleh perawat. Dengan demikian timbul sikap positif atau negatif dalam diri pasien. Apabila si pasien tidak merasa puas dengan pelayanan di suatu rumah sakit, maka si pasien akan mencari rumah sakit yang lain yang bias memberikan kepuasan dan pelayanan yang lebih baik.
Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai

sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Pengalaman pasien yang sebelumnya pernah menggunakan jasa rumah sakit lain akan dijadikan pembanding pelayanan yang diberikan oleh RSUD Ulin Banjarmasin. Semakin baik pelayanan komunikasi yang diberikan perawat, maka pasien pun akan selalu senantiasa menggunakan jasa kesehatan di RSUD Ulin Banjarmasin. Lain halnya apabila pelayanan rumah sakit lain yang lebih bagus, maka kemungkinan pasien pun akan berpaling ke rumah sakit yang dinilai lebih baik daripada RSUD Ulin Banjarmasin.
11
TEORI PERTUKARAN SOSIAL
(Thibault dan Kelley)

Ganjaran (hal yang
diterima oleh
pasien RSUD Ulin
Banjarmasin)

Biaya (hal yang
diberikan pasien
RSUD Ulin
Banjarmasin)

Laba/hasil
(Ganjaran
dikurangi biaya)

Tingkat
perbandingan
(Ukuran rumah
sakit lain sebagai
pembanding)
Gambar 1.1 Kerangka Teoritis
Sumber: Rakhmat, 2004b: 121
1.6.2 Kerangka Konseptual
Berdasarkan uraian kerangka teoritis tersebut, maka konsep penelitian
yang ada dalam kerangka teoritis dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Komunikasi Interpersonal Perawat

Yaitu komunikasi langsung antara profesional-profesional dan professional-klien. Komunikasi ini biasanya dalam bentukdialog, meskipun kondisi tertentu juga terjadi secaramonolog. (Mundakir, 2006:17)

“Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya diantara dua orang yang dapat diketahui langsung balikannya. Dengan bertambahnya orang yang terlibat dalam komunikasi, menjadi bertambahlah persepsi orang dalam kejadian komunikasi sehingga bertambah komplekslah komunikasi tersebut. Komunikasi interpersonal adalah membentuk hubungan dengan orang lain.” (Arni Muhammad, 2005:159)
Devito (1989) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai berikut:
The process of sending and receiving message between two person with some
effect and some immediate feedback (Proses pengiriman dan penerimaan pesan
12
antara dua orang atau sekelompok kecil orang dengan efek dan umpan balik
seketika).
Sementara perawat sebagai komunikator dalam kegiatan komunikasi
interpersonal, didefinisikan sebagai berikut:

“Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki diperoleh melalui pendidikan keperawatan.” ( UU RI. No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan)

“Perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan.” (Tyalor C Lillis C Lemone)

“Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan keperawatan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit dan pelayanan penderita sakit.” (International Council of Nursing tahun 1965)
Pada lokakarya nasional 1983 telah disepakati pengertian keperawatan
sebagai berikut:

“Keperawatan adalah pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio psiko sosio spiritual yang komprehensif yang ditujukan kepada individu, kelompok dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.”

Komunikasi interpersonal, seperti perilaku yang lain, dapat sangat efektif dan dapat pula sangat tidak efektif. DeVito dalam bukunya Komunikasi Antar Manusia menyebutkan bahwa lima karakteristik efektivitas komunikasi interpersonal ditinjau dari sudut pandang keperilakuan komunikator terdiri dari:
1.Kepercayaan-diri (confidance)
Dalam komunikasi interpersonal, komunikator yang efektif haruslah memiliki
kepercayaan diri sosial; di mana seorang komunikator yang efektif selalu
13
merasa nyaman bersama orang lain dan merasa nyaman dalam situasi
komunikasi pada umumnya.
2.Kebersatuan (immediacy)
Kebersatuan mengacu pada penggabungan antara komunikator dan
komunikate sehingga akan tercipta rasa kebersamaan dan kesatuan.
3.Manajemen Interaksi (Interaction Management)

Komunikator yang efektif mengendalikan interaksi untuk kepuasan kedua belah pihak. Dalam manajemen interaksi yang efektif, tidak seorangpun merasa diabaikan atau merasa menjadi tokoh utama. Masing-masing pihak memberikan kontribusi dalam keseluruhan komunikasi.
4.Daya Ekspresi (expressiveness)
Daya ekspresi mengacu kepada keterampilan mengkomunikasikan
keterlibatan tulus dalam interaksi interpersonal.
5.Orientasi kepada Orang Lain (Other Orientation)
Orientasi kepada orang lain mengacu pada kemampuan sorang komunikator

untuk menyesuaikan diri dengan lawan bicaranya selama berkomunikasi.
Orientasi ini mencakup pengkomunikasian perhatian dan minat terhadap apa
yang dikatakan oleh lawan bicara. (DeVito, 1997:264)
2. Sikap Pasien Terhadap Rumah Sakit
Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi
sesuai dengan rangsang yang diterimanya. Sikap selalu berorientasi pada suatu
14
objek tertentu dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada. Sikap menurut
Azwar dalam bukunya Sikap, Manusia, Teori dan Pengukurannya:

“Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek (Azwar, 2003:5)

Dalam penelitian ini sikap yang ditunjukkan oleh pasien rawat inap RSUD Ulin Banjarmasin adalah suatu bentuk reaksi terhadap komunikasi yang dilakukan oleh perawat RSUD Ulin Banjarmasin. Di mana pasien akan cenderung untuk mendukung dengan tetap menggunakan jasa kesehatan di RSUD Ulin Banjarmasin apabila pelayanan yang diberikan oleh perawat dalam hal ini adalah komunikasi interpersonal dinilai baik atau sebaliknya.
Sikap memiliki tiga komponen menurut Mar’at (1982:13), yaitu:
1.Aspek Kognisi yang hubungannya denganbeliefs, ide dan konsep, yaitu

berupa penambahan pengetahuan, kepercayaan dan perubahan opini komunitas. Dalam penelitian ini, pengetahuan, kepercayaan, dan opini pasien terhadap RSUD Ulin Banjarmasin.

2. Aspek Afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang, yaitu berupa rasa senang atau tidak senang pada kegiatan yang dilaksanakan. Dalam penelitian ini, rasa senang atau tidak senang pasien, kepuasan dan penilaian terhadap RSUD Ulin Banjarmasin.
15

3. Aspek Konasi yang merupakan kecendrungan bertingkah laku, yaitu berupa kesedian berpartisipasi, mendukung, dan kecendrungan komunitas berperilaku. Dalam penelitian ini, kesedian pasien untuk tetap menggunakan jasa kesehatan di RSUD Ulin Banjarmasin, kesedian pasien untuk mengajak orang lain untuk menggunakan jasa kesehatan di RSUD Ulin Banjarmasin dan kesediaan pasien untuk menyebarluaskan informasi tentang RSUD Ulin Banjarmasin.
1.6.3 Operasionalisasi Variabel
Operasionalisasi variable dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.Variabel 1
: Komunikasi Interpersonal Perawat
Sub Variabel 1.1
: Kepercayaan Diri
Indikator
:

a. Sikap santai/tidak kaku dalam berkomunikasi dengan pasien.
b. Fleksibilitas perawat dalam suara dan gerak tubuhnya.
c. Tingkah laku perawat.
d. Penampilan fisik perawat.
Sub Variabel 1.2
: Kebersatuan
16
Indikator
:

a. Pengendalian kontak mata selama berkomunikasi dengan pasien.
b. Penggunaan bahasa yang sederhana.
c. Ketanggapan perawat terhadap apa yang dibutuhkan pasien.
d. Sifat dapat dipercaya perawat
Sub Variabel 1.3
: Manajemen Interaksi
Indikator
:
a. Perawat menciptakan suasana yang dialogis denga pasien.
b. Peawat tidak membiarkan terjadi jeda yang terlalu lama.
Sub Variabel 1.4
: Daya Ekspresi
Indikator
:
a. Keseluruhan unsure mimic perawat selama berkomunikasi
b. Keantusiasan perawat selama berkomunikasi dengan pasien.
Sub Variabel 1.5
: Orientasi Kepada Orang Lain
17
Indikator
:
a. Empati yang ditunjukkan perawat kepada pasien.
2.Variabel 2
: Sikap Pasien Terhadap Rumah Sakit
Sub Variabel 2.1
: Aspek Kognisi
Indikator
:
a. Pengetahuan pasien terhadap RSUD Ulin Banjarmasin.
b. Kepercayaan dan opini pasien terhadap RSUD Ulin Banjarmasin.
Sub Variabel 2.2
: Aspek Afeksi
Indikator
:
a. Perasaan senang pasien terhadap tenaga kesehatan di RSUD Ulin
Banjarmasin.
b. Perasaan suka pasien terhadap sarana dan prasarana yang tersedia di
RSUD Ulin Banjarmasin.
Sub Variabel 2.3
: Aspek Konasi
18
Indikator
:
a. Kesediaan pasien untuk tetap menggunakan jasa kesehatan di RSUD Ulin
Banjarmasin.
b. Kesediaan pasien untuk mengajak orang lain menggunakan jasa kesehatan
di RSUD Ulin Banjarmasin.
c. Kesediaan pasien menyebarluaskan informasi tentang RSUD Ulin
Banjarmasin.
1.6.4 Bagan Penelitian
19
Rumusan Masalah
Sejauhmana hubungan antara komunikasi interpersonal perawat
dengan sikap pasien terhadap rumah sakit
TEORI PERTUKARAN SOSIAL
(Thibault dan Kelley)
20
Ganjaran
Laba/Hasil
Biaya
Tingkat
Perbandingan
Variabel Y
Sikap Pasien
X1 Kepercayaan diri
Indikator:
a. Sikap santai/tidak kaku dalam berkomunikasi
dengan pasien,
b. Fleksibilitas perawat dalam suara dan gerak

tubuhnya,
c. Tingkah laku perawat selama berkomunikasi,
d. Penampilan fisik perawat
X2 Kebersatuan (Immediacy)
Indikator:
a. Pengendalian kontak mata selama berkomunikasi

dengan pasien,
b. Penggunaan bahasa yang sederhana,
c. Ketanggapan perawat terhadap apa yang
dibutuhkan pasien,
d. Sifat dapat dipercaya perawat.
X3 Manajemen Interaksi (Interaction Management)
Indikator:
a. Perawat menciptakan suasana yang dialogis
dengan pasien,
b. Perawat tidak membiarkan terjadi jeda terlalu
lama.
X4 Daya Ekspresi (Expressiveness)
Indikator:
a. Keseluruhan unsur mimik perawat selama
berkomunikasi,
b. Keantusiasan perawat terhadap pembicaraan
pasien.
X5 Orientasi kepada Orang Lain (Other Orientation)
Indikator:
a. Empati yang ditujukan pada pasien.
Variabel X
Komunikasi Interpersonal
Y1 Aspek Kognisi
Indikator:
a. Pengetahuan pasien terhadap RSUD Ulin
Banjarmasin
b. Kepercayaan dan opini pasien terhadap RSUD
Ulin Banjarmasin
Y2 Aspek Afeksi
Indikator:
a. Perasaan senang pasien terhadap tenaga medis
di RSUD Ulin Banjarmasin,
b.Perasaan suka pasien terhadap sarana dan
prasarana yang tersedia di RSUD Ulin
Banjarmasin.
Y3 Aspek Konasi
Indikator:
a. Kesediaan pasien untuk tetap menggunakan jasa
kesehatan di RSUD Ulin Banjarmasin,

b. Kesediaan pasien untuk mengajak orang lain menggunakan jasa kesehatan di RSUD Ulin Banjarmasin,

c. Kesediaan pasien untuk menyampaikan
informasi mengenai RSUD Ulin Banjarmasin
kepada orang lain.
1.7 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih harus diuji kebenarannya secara empiric. Karena, hipotesis merupakan instrument kerja dari teori sebagai hasil deduksi dari teori atau proposisi hipotesis lebih spesifik sehingga lebih siap diuji scara empirik.
1.7.1 Hipotesis Mayor

Hipotesis utama penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara komunikasi interpersonal perawat dengan sikap pasien terhadap rumah sakit”. Untuk meneliti hubungan tersebut, diperlukan hipotesis yang akan diuji. Hipotesis akan dirumuskan sebagai berikut:
H1
: Ada hubungan antara komunikasi interpersonal perawat dengan sikap
pasien terhadap rumah sakit
H0
: Tidak ada hubungan antara komunikasi interpersonal perawat dengan
sikap pasien terhadap rumah sakit
1.7.2 Hipotesis Minor
Hipotesis minor penelitian ini sebagai berikut:
21
1.H1: Ada hubungan antara kepercayaan diri perawat dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit
H0: Tidak ada hubungan antara kepercayaan diri perawat dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit
2.H1: Ada hubungan antarakeber s amanan perawat dengan kognisi, afeksi,
dan konaksi pasien terhadap rumah sakit.
H0: Tidak ada hubungan antarakeber s amanan perawat dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit
3.H1: Ada hubungan antara manajemen interaksi perawat dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit
H0: Tidak ada hubungan antara manajemen interaksi perawat dengan
kognisi, afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit
4.H1: Ada hubungan antara daya ekspresi perawat dengan kognisi, afeksi,
dan konaksi pasien terhadap rumah sakit
H0: Tidak ada hubungan antara daya ekspresi perawat dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit
5.H1: Ada hubungan antara orientasi kepada orang lain dengan kognisi,
afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit
22
H0: Tidak ada hubungan antara orientasi kepada orang lain dengan
kognisi, afeksi, dan konaksi pasien terhadap rumah sakit
1.8 Metodologi Penelitian
1.8.1 Penelitian Korelasional

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Metode korelasional bertujuan meneliti sejauh mana variasi pada satu factor berkaitan pada variasi factor yang lain (Rakhmat, 2004a: 275)

Oleh karena itu, penulis akan meneliti apakah terdapat hubungan yang signifikan diantara kedua variabel, yaitu komunikasi interpersonal perawat sebagai Variabel X, dan sikap pasien terhadap rumah sakit sebagai Variabel Y.
1.8.2 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi adalah kumpulan objek penelitian (Rakhmat, 2004a : 78). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap (non anak) RSUD Ulin Banjarmasin.

Sampel yaitu sebagian dari populasi yang diamati atau dapat diartikan sebagai bagian dari subjek penelitian yang dipilih dan dianggap mewakili secara keseluruhan (Rakhmat, 2004a : 78).
23

Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik sampling berstrata proporsional, yaitu teknik penentuan sampel melibatkan pembagian populasi ke dalam kelas. Dalam sampel strata proporsional, dari setiap strata diambil sampel yang sebanding dengan besar setiap strata (Rakhmat, 2004a : 79). Pecahan sampling 0,10 atau 0,20 sering dianggap banyak penelitian sebagai ukuran sampel yang memadai. Menurut Singarimbun dan Effendy, sebetulnya ukuran sampel bergantung pada derajat keseragaman, presisi yang dikehendaki, rencana analisis data dan fasilitas yang tersedia. (dalam Rakhmat, 2004a : 81).
1.8.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:

1. Angket, yang merupakan daftar pernyataan tertulis yang terstruktur dan disertai alternative jawaban yang disebarkan kepada sejumlah responden di RSUD Ulin Banjarmasin.

2. Observasi, yaitu suatu teknik pengumpulan data melalui pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam penelitian ini, segala sesuatu yang didapat penulis ketika melakukan pengamatan secara langsung ke lapangan, yaitu pada komunikasi interpersonal yang terjadi diantara perawat dan pasien atau pun segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian yang ingin diteliti.
24

3. Wawancara yaitu Tanya jawab langsung untuk mencari dan mengumpulkan informasi atau data kepada sumber-sumber yang ada kaitannya dengan berbagai sumber yang berhubungan dengan komunikasi interpersonal perawat dengan pasien atau pun segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian.

4. Studi Kepustakaan yaitu mencari data-data sekunder yang relevan dengan penelitian, yaitu mengenai komunikais interpersonal perawat dan pembentukan sikap. Data dapat diperoleh melalui internet, buku-buku, literature, majalah, surat kabar dan buku catatan kuliah yang berhubungan dengan penelitian.
1.8.4 jfjhgsohgo
1.9 Bnxcbhcxhb
1.10 Xbbnxxfg
25

Jumat, Mei 28

Kumpulan kumpulan pengetahuan tentang keperawatan

Selamat datang diblogs tiada duanya.karena blogs ini 100%gratis untuk dibaca untuk kepentingan bersama.

Kamis, Mei 27

Etika Perawat / Bidan

2. Etika Perawat / Bidan
Kerangka konsep dan dimensi moral dari suatu tanggung jawab dan akontabilitas dalam praktek klinis keperawatan dan kebidanan didasarkan atas prinsip-prinsip etika yang jelas serta diintegrasikan ke dalam pendidikan dan praktek klinis. Hubungan perawat atau bidan dengan pasen dipandang sebagai suatu tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap pasien yang pada hakekatnya adalah hubungan memelihara (caring). Elemen dari hubungan ini dan nilai-nilai etiknya merupakan tantangan yang dikembangkan pada setiap sistem pelayanan kesehatan dengan berfokus pada sumber-sumber yang dimiliki. Perawat atau bidan harus selalu mempertahankan filosofi keperawatan atau kebidanan yang mengandung prinsip-prinsip etik dan moral yang tinggi sebagaimana perilaku memelihara dalam menjalin hubungan dengan pasen dan lingkungannya. Sebagai contoh, ketika seorang perawat/bidan melakukan kesalahan dalam memberikan obat kepada pasen, dia harus secara sportif (gentle) dan rendah hati (humble) berani mengakui kesalahannya. Pada kasus ini dia harus mempertanggungjawabkan kepada:
(1) pasen sebagai konsumen,
(2) dokter yang mendelegasikan tugas kepadanya,
(3) Manajer Ruangan yang menyusun standar atau pedoman praktek yang berhubungan dengan pemberian obat
(4) Direktur Rumah Sakit atau Puskesmas yang bertanggung jawab atas semua bentuk pelayanan di lingkungan organisasi tersebut.

Mempertahankan Akontabilitas Profesional dalam Asuhan Keperawatan atau Kebidanan

1. Terhadap Diri Sendiri;
(a) Tidak dibenarkan setiap personal melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan status kesehatan pasen.
(b) Mengikuti praktek keperawatan atau kebidanan berdasarkan standar baru dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi canggih.
(c) Mengembangkan opini berdasarkan data dan fakta.

2. Terhadap Klien atau Pasen;
(a) Memberikan informasi yang akurat berhubungan dengan asuhan keperawatan atau kebidanan.
(b) Memberikan asuhan keperawatan atau kebidanan berdasarkan standar yang menjamin keselamatan, dan kesehatan pasen.

3. Terhadap Profesinya;
(a). Berusaha mempertahankan, dan memelihara kualitas asuhan keperawatan, atau kebidanan berdasarkan standar, dan etika profesi.
(b) Mampu dan mau mengingatkan sejawat perawat/bidan untuk bertindak profesional, dan sesuai etik moral profesi.

4. Terhadap Institusi/Organisasi; Mematuhi kebijakan dan peraturan yang berlaku, termasuk pedoman yang disiapkan oleh institusi atau organisasi.

5. Terhadap Masyarakat; Menjaga etika dan hubungan interpersonal dalam memberikan pelayanan keperawatan, atau kebidanan yang berkualitas tinggi.

perawat

Izin praktik keperawatan pada dasarnya bukan merupakan topik baru bagi para perawat Indonesia. PPNI dalam berbagai kesempatan telah mendiskusikan topik ini. Para ahli yang antusias dalam mengembangkan kualitas dan praktik keperawatan telah pula memberikan sumbangan pikiran. Namun, izin praktik keperawatan sampai tulisan ini dibuat masih tetap merupakan perjuangan keperawatan.
Bagi setiap profesi atau pekerjaan untuk mendapatkan hak izin praktik bagi anggotanya, biasanya harus memenuhi tiga kriteria :
Ada kebutuhan untuk melindungi keamanan atau kesejahteraan masyarakat.
Pekerjaan secara jelas merupakan area kerja yang tersendiri dan terpisah.
Ada suatu organisasi yang melaksanakan tanggung jawab proses pemberian izin. (Kozier Erb, 1990).
Izin praktik keperawatan diperlukan oleh profesi dalam upaya meningkatkan dan menjamin professional anggotanya. Bagi masyarakat izin praktik keperawatan merupakan perangkat perlindungan bagi mereka untuk mendapat pelayanan dari perawat professional yang benar-benar mampu dan mendapat pelayanan keperawatan dengan mutu tinggi.
Tidak adanya izin keperawatan menempatkan profesi keperawatan berasa pada posisi yang sulit untuk menentukan mutu keperawatan. Kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai jenjang pendidikan keperawatan dengan standar atau mutu antar institusi pendidikan yang tidak sama. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa seseorang yang telah lulus dari pendidikan keperawatan belum tentu cukup menguasai kompetensinya sebagai perawat. Situasi inilah yang membuat para pemimpin keperawatan cukup prihatin. Pihak pasien tidak tahu apakah pendidikan perawat atau justru diperburuk oleh kualitas keperawatan yang diberikan oleh para perawat yang dipersiapkan dengan tidak mantap.
Perkembangan pemberian izin praktik keperawatan cukup bervariasi di setiap Negara. Di Amerika Serikat misalnya, izin praktik keperawatan diberikan pada perawat professional mulai pada tahun 1903 tepatnya di Negara bagian North Carolina. Pada tahun 1923 semua Negara bagian telah mempunyai izin praktik bagi para perawat.
Untuk mendapatkan izin praktik maka seorang lulusan dari pendidikan professional keperawatan harus mendaftarkan diri pada dewan keperawatan yang ada di setiap provinsi untuk mengikuti ujian. Di Amerika Dewan ini bernama State Board of Nursing, atau Board of Registered Nursing, atau Board of Nurse Examinors. Biaya ujian cukup bervariasi antara US$ 25- 100.
Di Kanada, perawat dalam bekerja tidak melalui proses pemberian izin kecuali di provinsi Quebec. Namun, mereka tercatat atau didaftar oleh persatuan perawat di masing-masing provinsi dan oleh College of Nurse of Ontario. Perawat di Amerika juga didaftar sebagai pelengkap dari pemberian izin praktik.
Selain kepada perawat professional maka izin praktik juga diberikan pada para lulusan dari pendidikan jangka pendek (misalnya dua tahun) untuk menjadi registrated Nurse Assistance (RNA) yang lingkup kerjanya adalah membantu para RN dalam memberikan asuhan keperawatan.
Bagi para perawat yang telah menyelesaikan pendidikan spesialisasi keperawatan (Master Degree) maka kepada mereka diperbolehkan mengikuti ujian untuk mendapatkan izin advanced nursing practice. Ujian yang diselenggarakan sesuai dengan spesialisasi misalnya perawat spesialis anestesi, perawat spesialis kebidanan, perawat spesialis klinik, perawat spesialis anak, perawat spesialis kesehatan keluarga, perawat spesialis kesehatan sekolah, perawat spesialis jiwa dan lain-lain. Setelah lulus ujian maka kepada mereka diberi sebutan keprofesian sesuai spesialisasi yang diambil.

REGISTRASI
Registrasi merupakan pencantuman nama seseorang dan informasi lain pada badan resmi baik milik pemerintah maupun non pemerintah. Perawat yang telah terdaftar diizinkan memakai sebutan registered nurse. Untuk dapat terdaftar, perawat harus telah menyelesaikan pendidikan keperawatan dan lulus ujian dari badan pendaftaran dengan nilai yang diterima. Izin praktik maupun registrasi harus diperbaharui setiap satu atau dua tahun.
Dalam masa transisi professional keperawatan di Indonesia, sistem pemberian izin praktik dan registrasi sudah saatnya segera diwujudkan untuk semua perawat baik bagi lulusan SPK, akademi, sarjana keperawatan maupun program master keperawatan dengan lingkup praktik sesuai dengan kompetensi masing-masing.

SERTIFIKASI
Sertifikasi merupakan proses pengabsahan bahwa seorang perawat telah memenuhi standar minimal kompetensi praktik pada area spesialisasi tertentu seperti kesehatan ibu dan anak, pediatric , kesehatan mental, gerontology dan kesehatan sekolah. Sertifikasi telah diterapkan di Amerika Serikat. Di Indonesia sertifikasi belum diatur, namun demikian tidak menutup kemungkinan dimasa mendatang hal ini dilaksanakan.

AKREDITASI
Akreditasi merupakan suatu proses pengukuran dan pemberian status akreditasi kepada institusi, program atau pelayanan yang dilakukan oleh organisasi atau badan pemerintah tertentu. Hal-hal yang diukur meliputi struktur, proses dan kriteria hasil. Pendidikan keperawatan pada waktu tertentu dilakukan penilaian/pengukuran untuk pendidikan D III keperawatan dan sekolah perawat kesehatan dikoordinator oleh Pusat Diknakes sedangkan untuk jenjang S 1 oleh Dikti. Pengukuran rumah sakit dilakukan dengan suatu sistem akrteditasi rumah sakit yang sampai saat ini terus dikembangkan.

1. A. PROSES TERJADINYA MASALAH KEPERAWATAN



18 April 2010 oleh mukhadiono

1. I. PENDAHULUAN

Menarik diri (withdrawal) adalah suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung ( isolasi diri ). Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain.

Pada klien dengan menarik diri diperlukan rangsangan/ stimulus yang adequat untuk memulihkan keadaan yang stabil. Stimulus yang positif dan terus menerus dapat dilakukan oleh perawat. Apabila stimulus tidak dilakukan / diberikan kepada klien tetap menarik diri yang akhirnya dapat mengalami halusinasi, kebersihan diri kurang dan kegiatan hidup se hari –hari kurang adequat.

1. II. TINJAUAN TEORI

1. A. PROSES TERJADINYA MASALAH KEPERAWATAN

Gangguan hubungan sosial adalah keadaan dimana individu kurang berpartisipasi dalam jumlah berlebihan atau hubungan sosial yang tidak efektif (Rawlins, 1993). Sedangkan definisi dari isolasi sosial adalah keadaan dimana individu/kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatannya dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak.(Carpenito, 1998). Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa individu menarik diri mengalami gangguan dan kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.

Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga, yang biasanya dialami klien dengan latar belakang lingkungan yang penuh dengan permasalahan, ketegangan,kekecewaan dan kecemasan.

Menurut Stuart dan Sundeen (1995), faktor predisposisi dari gangguan hubungan sosial adalah : 1) faktor perkembangan dimana setiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan akan menyebabkan seseorang mempunyai masalah respon sosial yang maladaptif. Untuk faktor perkembangan, setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan baik. Bila tugas perkembangan ini tidak dapat dilalui dengan baik maka akan menghambat tahap perkembangan selanjutnya, 2) faktor genetik dimana salah satu faktor yang menunjang adalah adanya respon sosial yang maladaptif dari orang tua atau garis keturunan diatas, 3) faktor komunikasi dalam keluarga dimana masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontributor untuk mengembangkan gangguan tingkah laku. Masalah komunikasi tersebut antara lain sikap bermusuhan , selalu mengkritik, menyalahkan, kurang kehangatan, kurang memperhatikan anak, emosi yang tinggi. Komunikasi dalam keluarga amatlah penting dengan memberikan pujian,adanya tegur sapa dan komunikasi terbuka . Kurangnya stimulasi, kasih sayang dan perhatian dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang akan menghambat terbentuknya rasa percaya diri. 4)faktor sosio kultural yaitu norma yang tidak mendukung terhadap pendekatan orang lain atau norma yang salah yang dianut keluarga, seperti anggota keluarga yang gagal diasinglan dari lingkungan sosial.

Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain, akibatnya klien menjadi regresi, mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam dalam pengalaman dan pola tingkah laku masa lalu serta tingkah laku primitif antara lain pembicaraan yang austik dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan sehingga dapat berakibat lanjut terjadinya halusinasi dan gangguan komunikkasi verbal karena klien tidak mau berinteraksi secara verbal dengan orang lain. Halusinasi pada klien dapat menimbulkan resiko mencederai diri dan orang lain apabila halusinasinya menyuruh klien untuk melakukan kekerasan pada diri maupun orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Klien dengan harga diri rendah akan membuat dirinya enggan berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Tidak adanya dukungan untuk berinteraksi membuat klien semakin menarik diri dari lingkungannya. Akibat menarik diri, klien akan mengalami halusinasi. Halusinasi pada akhirnya akan menguasai klien, pada tahapan lebih lanjut, sehingga memunculkan resiko kekerasan. Harga diri rendah juga akan menimbulkan koping mekanisme pada klien di mana ia mengkompensasikan perasaannya dengan waham kebesaran untuk mengatasi harga dirinya yang rendah. Waham akan mempengaruhi komunikasi klien dimana setiap berkomunikasi klien selalu terarah pada wahamnya sendiri sehingga terjadi gangguan komunikasi verbal.

Pada kasus tuan S awal kejadiannya disebabkan karena adanya ancaman dari teman-temannya bahwa klien tidak akan di ajak bergaul dengan teman group musiknya bila tidak mengikuti aturan main, padahal teman-temannya bermaksud bergurau, tapi klien merasa malu. Hal itu terjadi tahun 1995 ketika klien masih duduk di bangku STM kelas II dan klien dirawat di Rumah sakit selama 9 hari. Selanjutnya klien berobat jalan, namun sudah kurang lebih 1,5 tahun klien tidak pernah berobat. Kejadian yang menyebabkan klien MRS yang kedua ini berawal dari keinginan klien dan keluarga agar klien melamar pekerjaan di tempat kerja pamannya yang berada di Banjarmasin , tapi gagal. Akibat kegagalanya ini klien merasa kecewa karena klien berangan angan bila bekerja dapat membantu penghasilan keluarga. Sebagai anak tertua klien merasa harus dapat membantu orangtuanya. Selanjutnya klien merasa tidak berguna, lalu menarik diri dengan menyendiri dalam kamar sambil termenung, tidak mau merawat diri, tidak mau makan, kadang-kadang bicara sendiri atau ngomel-ngomel tanpa sebab jelas. Bila diajak bicara bicaranya ngelantur, tidsk terarah dan terkadang diam tidak mau menjawab, akhirnya terjadi gangguan komunikasi verbal. Dalam kehidupan sehari hari klien tidak mau bergaul dengan tetangga dan tidak pernah bercerita tentang masalah pribadinya.

Masalah klien yang biasa muncul pada klien menarik diri adalah koping individu tidak efektif, koping keluarga tidak efektif, harga diri rendah,isolasi sosial menarik diri, resiko tinggi halusinasi,kerusakan interaksi sosial, intoleransi aktivitas dan defisit perawatan diri ( Depkes 1995 ). Sedangkan masalah keperawatan yang terjadi pada Tn S adalah : Isolasi sosial menerik diri, harga diri rendah, resiko halusinasi, , koping keluarga tidak efektif : penatalaksanaan regimen teraupeutik in efektif, defisit perawatan diri.

1. B. TINDAKAN KEPERAWATAN

Dalam menyusun tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan di atas digunakan beberapa sumber antara lain : Carpenito (1998 ) , Stuart dan Sundeen (1995).

1. 1. ISOLASI SOSIAL: Menarik diri

Prinsip tindakan

Bina hubungan saling percaya

1. Interaksi sering dan singkat
2. Dengarkan dengan sikap empati
3. Beri umpan balik yang positif
4. Ciptakan suasana yang ramah dan bersahabat
5. Jujur dan menepati semua janji
6. Susun dan tulis daftar kegiatan harian bersama klien sesuai dengan jadwal ruangan, minat serta kemampuan klien
7. Bimbing klien untuk meningkatkan hubungan sosial secara bertahap mulai dari klien-perawat, klien dua orang perawat, klien-dua perawat-dan klien lain, klien dengan kelompok kecil, klien dengan kelompok besar
8. Bimbing klien untuk ikut ambil bagian dalam aktivitas kelompok seperti dalam terapi aktivitas kelompok : sosialisasi
9. Berikan pujian saatklien mampu berinteraksi dengan orang lain
10. Diskusikan dengan keluarga untuk mengaktifkan support system yang ada
11. Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian obat anti depresan
12. 2. HARGA DIRI RENDAH

Prinsip Tindakan :

Perluas kesadaran klien

1. Bina hubungan saling percaya
2. Berikan pekerjaan pada klien pada tingkat kemampuan yang dimiliki
3. Maksimalkan peran serta klien dalam hubungan terapeutik
4. Dukung ekplorasi diri klien
5. Bantu klien untuk menerima perasaan danpikiran- pikirannya
6. Bantu mengklarifikasi konsep diri dan hubungan denganorang lain melalui keterbukaan
7. Berikan respon empati bukan simpati dan tekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada diri klien
8. Bantu klien merumuskan perencanaan yang realistik
9. Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah
10. Bantu mengkonseptualkan tujuan yang realistik.
11. 3. PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI ; Resiko halusinasi lihat dan dengar

Prinsip tindakan:

Tetapkan hubungan saling percaya dan lakukan dengan kontak sering dan singkat

1. Kaji gejala halusinasi
2. Fokus pada gejala dan minta klien untuk menjelaskan apa yang terjadi
3. Tidak mendukung atau menentang halusinasi
4. Bantu klien menjelaskan dan membandingkan halusinasi saat ini dan yang baru saja dialami
5. Dorong klien untuk mengobservasi dan menjelaskan pikiran, perasaan dan tindakan yang berhubungan dengan halusinasi ( saat ini maupun yang lalu )
6. Bantu klien menjelaskan kebutuhan yang mungkin direfleksikan dalam isi halusinasi
7. Hadirkan realitas
8. Gunakan bahasa yang jelas dan komunikasi secara langsung serta pertahankan kontak mata
9. Diskusikan penyebab, isi, waktu terjadi dan cara untuk memutus halusinasi
10. Berikan tugas dan aktivitas yang dapat dilakukan
11. Diskusikan manfaat dari taerapi medis dengan klien
12. 4. DEFISIT PERAWATAN DIRI

Prinsip Tindakan :

Ciptakan lingkungan yang tenang

1. Fasilitasi peralatan perawatan diri klien
2. Motivasi klien dalam melakukan perawatan diri
3. Dorong klien untuk mengungkapkan keuntungan dan manfaat dari perawatan diri
4. Beri reinforcemen positif atas tindakan klien yang mendukung ke arah perawatan diri.
5. 5. PENATALAKSANAAN REGIMEN TERAPEUTIK IN EFEKTIF

Prinsip tindakan :

Tingkatkan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit dan terapi yang diperlukan

1. Libatkan keluarga dalam rencana perawatan klien
2. Optimalkan penggunaan sumber dan sistem pendukung

1. III. P E L A K S A N A A N

Asuhan keperawatan terhadap Tn S dilaksanakan dalam 10 kali pertemuan. Di bawah ini akan diuraikan tindakan keperawatan yang dilakukan untuk setiap diagnosa, evaluasi serta tindak lanjutnya.

1. A. Diagnose keperawatan

Perubahan sensori persepsi : Resiko halusinasi lihat dan dengar berhubungan dengan menarik diri

1. 1. Tujuan Umum :

Klien dapat berinteraksi dengan orang lain di lingkungannya sehingga halusinasi lihat dan dengar tidakterjadi.

1. 2. Implementasi :

Pada pertemuan pertama , perawat membina hubungan saling percaya dengan klien dengan cara : mengucapkan salam dan menyapa klien dengan ramah, memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan pertemuan, menunjukkan sikap tenang dan penuh perhatian dengan menemani klien dan membuat kontrak yang jelas. Melakukan interaksi sering dan singkat. Membicarakan dengan klien penyebab menarik diri. Mendiskusikan akibat menarik diri,mendiskusikan keuntungan dalam berinteraksi dengan orang lain. Memotivasi klien untuk bersosialisasi dengan perawatlain, klien lain secara bertahap. Memberikan pujian saat klien mau berinteraksi dengan perawat lain dan klien lain. Mendampingi klien saat memulai interaksidengan perawat lain atau klienlain, menyusun aktivitas sehari -–ari klien sesuai kemampuannya, kesanggupannya serta dengan perencanaan di ruangan.

1. 3. Evaluasi :

Pada pertemuan ke 3 hubungan saling percaya sudah dapat terbina dengan lebih baik. Tetapi klien masih belum bisa menyebutkan penyebab menarik dirinya. Klien juga belum mampu menyebutkan keuntungan berinteraksi denganorang lain. Pada pertemuan ke 4 sudah bisa bersosialisasi dengan perawat lain dan klien lain., tapi masih belum bisa menyebutkan penyebab tidak maubergaul dengan orang lain, Pada pertemuan ke 5 klien dapat menjelaskan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan klien sudah mau berinteraksi dengan klien lain,bahkan bergandengan tangan dengan klien lain.

1. 4. Tindak lanjut

Mempertahankan implementasi yang telah diberikan. Melakukan kerja sama dengan perawat ruangan untuk melatih aktifitas yang teratur dan mendiskusikan mengenai partisipasi keluarga dalam merawat klien.

Isolasi sosial : menarik diri berhubungandengan harga diri rendah

1.
1. Tujuan Umum :

Klien dapat meningkatkan harga dirinya, sehingga klien dapat berhubungan dengan orang lain.

1.
1. Implementasi :

Mempertahankan hubungan saling percaya antara perawat klien melalui cara : menyapa klien dengan ramah dan mengucapkan salam., menjelaskan tujuan pertemuan, menunjukkan sikap empati, membuat kontrak yang jelas untuk pertemuan selanjutnya . Menunjukkan sikap penuh perhatian dan penghargaan dengan menemani klien walaupun klien menolak untuk berinteraksi . Mendorongklien untuk menyebutkan aspek/ kemampuan positif yang dimiliki klien dan memberikan pujian terhadap kemampuan positif klien yang menonjol. Mendiskusikan dan memotivasi klien untuk mengungkapkan perasaan, pikiran dan mendengarkan klien dengan perhatian

1.
1. Evaluasi

Pada pertemuan ke 5 klien mulai mau menyebutkan kemampuan yang dimilikinya dan klien mau menunjukkan kemampuannya di depan perawat yaitu klien dapat menyanyi dan pandai bermain gitar. Namun klien masih sulit untuk memulai pembicaraan. Pertemuan ke 6 klien lebih dapat berinteraksi dengan klien lain dan dapat tersenyum membalas sapaan perawat.

1.
1. Tindak lanjut :

Mempertahankan interaksi yang sudah dicapai klien dan merencanakan untuk diikutkan dalam terapi aktivitas kelompok.

Penatalaksanaan regimen teraupetik in efektif berhubungan dengan kopingkeluarga inefektif.

1. 1. Tujuan Umum :

Penatalaksanaan regimen teraupetik efektif

1. 2. Implementasi :

Mengajak keluarga untuk mengidentifikasi perilaku klien yang mal adaftif usaha memberi perawatan pada klien,memberi pujian atas tindakan keluarga yang adaptif, mendiskusikan dengan keluarga tindakan yang dapat dalakukan terhadap keluarga untuk menunjang kesembuhan klien ( memberikan aktivitas, memotivasi melakukan hobinya mengajak klien pada realitas ),mendiskusikan tentang pentingnya peran keluarga,menganjurkan bersikap hangat, menghargai dan tidak memarahi klien, serta memberi pujian terhadap perilaku klien yang adaptif , memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mengambil keputusan tentang koping yang efektif dalam merawat klien, menanyakan kepada keluarga bagaimana persepsi dan penerimaan linkungan dengan adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, mendiskusikan dengan keluarga cara penyampaian pada masyarakat tantang anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa,menganjurkan keluarga untuk konsultasi ke fasilitas bila menemukan kesulitan, memotivasi klien dan keluarga untuk kontrol teratur

1. 3. Evaluasi

Pada pertemuan ke 6 sampai ke 10 terlihat keluarga mencoba menerapkan apa yang telah didiskusikan dengan perawat dan akan melaksanakannya ketika klien harus pulang.

1. 4. Tindak lanjut

Memberikan dorongan kepada keluarga dan merencanakan untuk kunjungan rumah

Defisit Perawatan diri berhubungan dengan kurang motivasi dalam perawtan diri

1. 1. Tujuan Umum :

Klien dapat meningkatkan motivasi tentang kebersihan diri, sehingga kebutuhan klien terjaga dan terpelihara.

1. 2. Implementasi :

Mempertahankan hubungan saling percaya yang telah terbina, dengan cara mengucapkan salam dan menunjukkan sikap ramah saat berinteraksi dengan klien. Menciptakan lingkungan yang tenang saat berinteraksi. Memberikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Memotivasi klien untuk mandi memakai sabun, menggosok gigi, mengganti pakaian setiap hari, memotivasi klien untuk memotong kuku seminggu sekali bila terlihat kotor dan panjang, mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya setelah melakukan perawatan diri, memberikan pujian atas perilaku klien yang mendukung pada perawatan diri.

1. 3. Evaluasi :

Pada pertemuan 1 dan 2 klien belum bersedia untuk melakukan perawatan diri, klien selalu menunggu ayahnya untuk perawatan diri, klien terlihat kusam ,rambut acak-acakan, baju lusuh karena klien menolak untuk perawtan diri.Pertemuan ke 3 klien sudah bersedia ke kamar mandi di antar ayahnya, sudah bersedia mandi tetapi belum bersedia memakai baju yang rapi dan menyisir rambut. Pertemuan ke 3, 4 ,5

Klien sudah mandi sendiri tapi tidak bersedia memakai handuk sehingga baju terlihat basah. Sampai pertemuan terakhir klien bersedia mandi bila disuruh , bukan atas kemauan sendiri, tapi klien sudah bisa melakukan sendiri dengan pengawasan

1. 4. Tindak lanjut :

Mempertahankan pemberian motivasi kepada klien dalam melakukan perawatan diri, membuat jadual kegiatan klien sehari-hari. Meningkatkan kualitas ADL klien dengsn mendorong klien untuk melaksanakan semua ADL yang telah dibuat dan mengikut sertakan keluarga dalam memonitor ADL klien.

Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan sebuah komentar »
STRATEGI ASERTIF

17 April 2010 oleh mukhadiono

Setiap orang pasti pernah kesal. Lalu apa yang bisa yang anda lakukan bila rasa kesal itu datang pada saat anda sedang bekerja? Berikut ini ada 10 cara untuk mengatasinya.

1. Akuilah kalau anda kesal
Meluapkan amarah jika kita sedang merasa kesal sering dianjurkan oleh para ahli, hal ini untuk mencegah menumpuknya kekesalan.

2. Tidak semua kekesalan karena diri anda
Banyak orang kemudian menyalahkan diri sendiri sebagi penyebab masalah. Cobalah untuk berbicara dengan seorang rekan anda.

3. Tak perlu meratapi kesalahan yang telah terjadi
Setipa orang pasti pernah melakukan kesalahan dan itu adalah manusiawi. Begitu pun kalau kita bekerja suatu kali pasti melakukan kesalahan.

4. Kenali kebiasaan atasan
Ketahui momen yang baik dan buruk, dan pelajari kebiaasan atasan dengan teliti.

5. Bersikap cerdik ketika sedang kesal
Kesalahan dan amarah adalah motivator yang terbaik. Carilah perubahan positif dari amarah. Daripada menggerutu di belakang lebih baik sampaikan dengan terus terang secara langsung apa yang anda inginkan.

6. Tetap bersikap tenang
Kontrol diri ketika amarah datang dengan menarik napas dalam-dalam lalu menghitung dalam hati, kemudian minumlah.

7. Tentukan apakah maslah patut diatasi
Bila rasa kesal itu datang, tanyakan pada diri anda sendiri apakah maslah itu akan terulang lagi. Bila ya, maka persiapkan diri kita untuk mengatasainya, jika tidak, maka daimkan saja.

8. Curahkan isi hati
Jika merasa kesal curahkan isi hati anda pada seseorang atau diri sendiri. Pilihlah orang yang mempunyai akal dan kebijakan untuk anda curahkan isi hati anda.

9. Lampiaskan emosi pada gerak badan
Melakukan olahraga yang menguras tenaga adalah salah satu cara ampuh untuk meluapkan emosi.

10. Kalau perlu ambillah cuti
Jika semua cara yang anda coba tidak menghasilkan, maka ambillah cuti. Mungkin dengan melakukan hal itu anda dapat mencari solusi untuk rasa kesal anda.

Sumber: http://www.untukku.com/artikel-untukku/10-cara-atasi-rasa-kesal-di-kantor-untukku.html

Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan sebuah komentar »
MENGATASI RASA MALU

17 April 2010 oleh mukhadiono

Orang-orang dengan sifat pemalu secara naluri menyimpan kesadaran kalau diri mereka terlewatkan dari orang lain. Sifat pemalu biasanya membuat seseorang kehilangan kesempatan, kurang mendapat kesenangan dan terkucil dari hubungan sosial.

Sifat pemalu dapat membawa banyak kerugian. Tapi bagi Anda yang memiliki sifat ini, tak perlu berkecil hati, karena pada dasarnya ada banyak cara untuk mengusir jauh-jauh sifat yang merugikan ini. Sebenarnya, formula dari rasa malu terdiri dari ‘terlalu berpusat pada diri sendiri’ dicampur dengan rasa gugup. Dan ada paduan yang lebih tak menyangkan,saatrasa malu itu mempengaruhi fisik Anda dengan cara’membajak’ ketenangan logis.

Rasa malu adalah sebuah kombinasi dari kegugupan sosial dan pengkondisian sosial. Untuk mengatasi rasa malu ini yang Anda butuhkan adalah belajar bersikap rileks dalam pergaulan sosial. Dibutuhkan usaha untuk mengarahkan diri Anda jauh dari terlalu berpusat pada diri sendiri, serta memberi diri Anda ruang untuk mempraktekan kemampuan bercakap-cakap. Dalam kebanyakan kasus, emosi yang memuncak dalam bersosialisasi membuat orang menanggapi berbagai kejadian dengan rasa takut. Untuk memulai mengurangi rasa malu, bagi Anda yang pemalu, ada beberapa hal dibawah ini yang mungkin dapat Anda praktekan.

1. Pikirkan tentang cara Anda merasa dan bertindak di sekitar orang-orang yang telah Anda kenal, dimana Anda bisa merasa nyaman dan bersikap spontan. Alihkan perasaan itu saat Anda bertemu kenalan baru serta dalam situasi yang membuat rasa percaya diri Anda memudar.
2. Hindari terlalu memperhatikan diri Anda sendiri. Tentu saja, Anda boleh sedikit memikirkan tentang bagaimana Anda akan melewatkan perbicangan dengan orang banyak, tapi jika seluruh fokus Anda tercurah pada kata-kata Anda sendiri dan perasaan Anda, selanjutnya Anda akan mulai merasa gugup sendiri. Ingat-ingat apa yang dikenakan oleh orang lain dan buat catatan tersendiri, dengarkan apa yang mereka perbincangkan, bayangkan dimana mereka tinggal, buat sebuah garis besar atau ingat-ingat nama mereka. Hal ini bukan hanya memberi Anda bahan perbincangan, tapi juga mencairkan ketegangan dalam bersosialisasi dan membuat perasaan Anda lebih tenang.
3. Buat pertanyaan terbuka pada semua orang. Banyak orang yang lebih senang bicara tentang diri mereka sendiri, dan temukan sebuah topik yang membuat orang lain tertarik, apa yang membuat mereka tertarik akan membuat perbicangan berjalan menyenangkan bagi semua orang. Selalu ajukan pertanyaan yang memungkinkan jawaban lebih dari ya/tidak.
4. Berhentilah percaya pada imajinasi Anda. Mungkin Anda pernah membuat gambaran tentang sebuah liburan yang menyenangkan dan pada kenyataanya jauh berbeda dari yang Anda bayangkan’ Itu menunjukan beatapa tak dapat dipercayanya bayangan kita sendiri. Berhentilah memikirkan apa yang dipikirkan orang lain, pasalnya, apa yang Anda soal pikiran orang lain tentang Anda, belum tentu sama persis seperti bayangan Anda.
5. Berhentilah memikirkan ’segalanya atau bukan apa-apa.’ Pemikiran ‘pasti begini/pasti begitu’ tertuang saat Anda mengalami emosi. Orang-orang yang sedang depresi, marah dan gelisah melihat kenyataan dari hal-hal ini dengan perbedaan yang ektrim. Bagi orang yang sedang marah ‘Anda salah’ dan ‘mereka benar,’ orang yang marah akan melihat dirinya ‘gagal’, sedang yang lain ‘berhasil.’ Jadi berhentilah berpikir kalau Anda mungkin telah mengatakan hal yang salah, atau orang lain akan membenci Anda. Saat Anda merasa rileks dalam pergaulan sosial Anda akan mendapat sedikit peringatan dari diri Anda sendiri, karena dalam keadaan gugup, biasanya Anda akan mulai berpikir tentang segalanya atau bukan apa-apa.
6. Nikmati waktu Anda. Tak perlu mengatakan hal-hal tanpa berpikir terlebih dulu. Ajukan pertanyaan dan jika pertanyaan diajukan Anda dapat mempertimbangkan jawaban terlebih dahulu sebagai tanggapan Anda. Jangan asal menjawab tanpa berpikir. Jawaban yang diluncurkan dengan perlahan merupakan cara rileks untuk bersikap.
7. Akhirnya, gunakan latihan hipnotis. Hipnotis merupakan cara tercepat untuk mengubah tanggapan instink/emosi Anda dalam setiap situasi. Hanya pikirkan bahwa pikiran dan tubuh Anda dalam keadaan rilek sewaktu bertemu orang baru. Samakan keadaan ini sewaktu Anda bertemu dengan orang-orang baru. Sebenarnya, sewaktu Anda merasa santai seringkali Anda akan menemukan saat yang tepat untuk menerapkan hipnotis agarmerasa percaya diri berhadapan dengan orang-orang baru, dan tentu saja pada titik ini rasa malu akan tersingkir dengan sendirinya.

Bagi Anda yang memiliki masalah dengan rasa malu saat bertemu dengan kenalan baru, dapat Anda mencoba tujuh tips yang kami sampaikan di atas. Dan semoga setelah itu Anda akan lebih percaya diri saat bertemu orang-orang baru dalam pergaulan sosial.

Sumber: www.untukku.com

Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan sebuah komentar »
SKIZOFRENIA

23 Maret 2010 oleh mukhadiono

Editor: Mukhadiono, SST

Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antar pribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang panca indera). Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Tujuh puluh lima (75) persen penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16 – 25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resisten terhadap upaya terapi semakin kuat. Seorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater atau psikolog. Gejala Indicator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tangential) atau berputar-putar (sirkumstansial). Gangguan atensi: Penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin. Gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi 2 kelas: 1. Gejala-gejala positif termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain. 2. Gejala negatif Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktifitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (allogia). Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan stress post traumatic. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan. Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra sakit yang merupakan faktor predisposisi skizofrenia yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian schizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan psikotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi panca indera yang tidak biasa, pikiran obsesi tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkohern. Tidak semua orang yang memiliki indicator pre morbid pasti berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia misalnya stressor lingkungan dan faktor genetic. Sebaliknya mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stressor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen, atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis. Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis. Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk sembuh. Kisah John Nash, doctor ilmu matematika dan pemenang hadiah nobel 1994 yang mengilhami film a Beautiful Mind membuktikan bahwa penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi.

Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan sebuah komentar »
DOWNLOAD

23 Maret 2010 oleh mukhadiono

klik untuk download materi KONSEP PERAWATAN KESEHATAN JIWA

Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan sebuah komentar »

23 Maret 2010 oleh mukhadiono

Seiring dengan perubahan jaman, peran perawat kesehatan jiwa mulai muncul pada tahun 1950-an. Weiss (1947) menggambarkan beda perawatan kesehatan jiwa dengan perawatan umum yaitu adanya terapi sikap. Perawat menggunakan sikap yang baik dalam menyembuhkan pasien.

Dalam mengimplementasikan terapi ini, perawat mendemonstrasikan penerimaan, pengertian tentang klien, meningkatkan interest dan partisipasi. Pada realitas, klien diperlakukan secara individual dan unik, jadi sikap perawat harus sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien.






Perawatan kesehatan jiwa adalah proses berhubungan yang meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang akan menyokong integritas fungsi. Yang dimaksud klien meliputi individu, kelompok, keluarga, organisasi atau masyarakat.

Menurut American Nurses Association (ANA) divisi perawatan kesehatan jiwa, mendefinisikan perawatan kesehatan jiwa sebagai area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu perilaku manusia dan diri sendiri secara terapeutik untuk meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan jiwa klien dan meningkatkan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada.

Beberapa model konseptual perawatan kesehatan jiwa:

1. Model Psikoanalisa

Merupakan model yang pertama dikemukakan oleh Sigmund Freud. Psikoanalisa meyakini bahwa penyimpangan perilaku pada usia dewasa berhubungan dengan perkembangan pada masa anak.

Setiap fase perkembangan mempunyai tugas perkembangan yang harus dicapai. Gejala merupakan symbol dari konflik. Proses terapi psikoanalisa memakan waktu yang lama.

2. Model Interpersonal

Model ini dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan. Sebagai tambahan Hildegard Peplau mengembangkan teori interpersonal perawatan. Pandangan interpersonal terhadap penyimpangan perilaku, teori interpersonal meyakini bahwa perilaku berkembang dari hubungan interpersonal.

Sullivan menekankan besarnya pengaruh perkembangan masa anak-anak terhadap kesehatan jiwa individu.

Kecemasan pertama yang sungguh-sungguh dialami sewaktu bayi pada saat merasakan kecemasan ibu. Selanjutnya kecemasan dihubungkan dengan penolakan/tidak direstui oleh orang-orang yang dekat/penting bagi individu. Jika anak hanya menerima stimulus penolakan atau kecemasan atau kritik, maka anak akan mengembangkan sistem diri yang negatif.

Menurut Sullivan: individu memandang orang lain sesuai dengan yang ada pada dirinya.

Ada 2 dorongan yang dimiliki pada individu:

a. Dorongan untuk kepuasan, berhubungan dengan kebutuhan dasar seperti: lapar, tidur, kesepian, nafsu.

b. Dorongan untuk keamanan, berhubungan dengan kebutuhan budaya seperti penyesuaian norma sosial, nilai suatu kelompok tertentu.

Proses terapi

Mengoreksi pengalaman interpersonal dengan mengalami hubungan yang sehat dengan terapis, klien akan belajar berhubungan interpersonal yang memuaskan dengan re-edukasi dan mengembangkan hubungan saling percaya.

3. Sosial Model

Model ini berfokus pada lingkungan sosial yang mempengaruhi individu dan pengalaman hidupnya. Pandangan sosial terhadap penyimpangan perilaku, kondisi sosial bertanggung jawab terhadap penyimpangan perilaku, perilaku yang dianggap normal pada suatu daerah tertentu mungkin sebagai penyimpangan pada daerah yang lain.

Individu yang sudah dilabel/dicap jika tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma lingkungan, maka perilaku tersebut memerlukan perawatan/dirawat.

Menurut Szazz, individu bertanggung jawab terhadap perilakunya. Individu tersebut harus mampu mengontrol untuk menyesuaikan perilakunya dengan yang diharapkan masyarakatnya.

Kaplan, meyakini bahwa situasi sosial dapat mencetuskan gangguan jiwa. Oleh karena itu, konsep pencegahan primer, sekunder dan tertier sangat penting. Situasi yang dapat menjadi pencetus:

a. Kemiskinan, situasi keuangan tidak stabil, pendidikan tidak adekuat.

b. Kurang mampu mengatasi stress.

c. Kurang support system.

Situasi tersebut di atas dapat diantisipasi dan dapat dicegah.

Proses terapi:

a. Prevensi primer

b. Kesehatan jiwa masyarakat

c. Crisis intervensi

3. Eksistensi Model

Teori ini berfokus pada pengalaman individu pada saat ini dan disini. Pandangan model eksistensi terhadap penyimpangan perilaku, penyimpangan perilaku terjadi jika individu putus hubungan dengan dirinya dan lingkungan. Keasingan akan dirinya dan lingkungan dapat terjadi karena hambatan ataularangan pada diri individu. Individu merasa putus asa, sedih, sepi, kurang kesadaran akan dirinya dan penerimaan diri yang mencegah partisipasi dan penghargaan pada hubungan dengan orang lain.

Klien sudah kehilangan atau tidak mungkin menemukan nilai-nilai yang memberi arti pada eksistensinya.

Proses terapi:

a. Rasional Emotif Therapy, konfrontasi digunakan untuk bertanggung jawab terhadap perilakunya. Klien didorong untuk menerima dirinya, bagaimana adanya bukan karena apa yang akan dilakukan.

b. Terapi Logo, merupakan terapi orientasi masa depan (future orientated therapy). Individu meneliti arti dari kehidupan, karena tanpa arti berarti tidak eksis. Tujuan: agar individu sadar akan tanggung jawabnya.

5. Model Komunikasi

Komunikasi membedakan manusia dengan organisme lain. Semua perilaku mengkomunikasikan sesuatu. Mengerti arti perilaku tergantung dari kejelasan komunikasi antara pengiriman dan penerima.

Penyimpangan terjadi jika pesan yang disampaikan tidak jelas, penyimpangan komunikasi menyangkut verbal dan non verbal, posisi tubuh, kecepatan dan volume suara atau bicara. Proses terapi:

a. Memberi umpan balik dan klarifikasi masalah.

b. Memberi penguatan untuk komunikasi yang efektif.

c. Memberi alternatif koreksi untuk komunikasi yang tidak efektif.

d. Melakukan analisa proses interaksi.

6. Model Perilaku

Dikembangkan oleh H.J. Eysenck, J. Wilpe dan B.F. Skinner. Terapi modifikasi perilaku dikembangkan dari teori belajar (learning theory).

Belajar terjadi jika ada stimulus dan timbul respon, serta respon dikuatkan (reinforcement).

Respon dikuatkan dengan cara pengulangan terhadap sesuatu hal dan pemberi reinforcement.

Proses terapi:

a. desentisasi dan relaksasi

Desentisasi dan relaksasi sering dilakukan bersama-sama.

Klien dapat mengalami cemas dari yang ringan sampai yang berat, dan mempratekkan tehnik relaksasi

b. asertif training ; adalah belajat menggunakan kemampuan berdiri pada kekuatan dan hak sendiri tanpa menyinggung.

c. Positif training

Dipakai untuk mendorong perilaku sosial khususnya klien khronik yang dirawat, pengalaman yang menyenangkan akan mendorong pengalaman pada waktu yang akan datang.

d. Self regulasi, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

- 1 (satu) set standar ketrampilan

- Self observasi

- Self evaluasi

- Self reinforcement

3. Medikal Model

Berfokus pada diagnose penyakit, sehingga pengobatan didasarkan pada diagnose itu.

Medical model terus mengeksplorasi penyebab gangguan jiwa secara ilmiah.

Pandangan medical terhadap penyimpangan perilaku:

Banyak pendapat medical model bahwa penyimpangan perilaku merupakan manifestasi gangguan sistem syaraf pusat (SSP). Dicurigai bahwa depresi dan schizophrenia dipengaruhi oleh transmisi impuls neural, serta gangguan synaptic; yaitu masalah biokimia, faktor lingkungan dan sosial diperhitungkan sebagai faktor pencetus.

Proses terapi:

Hubungan klien dokter merupakan hubungan percaya dan mengikuti rencana pengobatan.

a. pengobatan meliputi jangka pendek dan jangka panjang

b. terapi supportif

c. insight oriented terapi yaitu belajar metoda mengatasi stressor.

Model Keperawatan

Pendekatan keperawatan berdasarkan :

a. teori sistem

b. teori perkembangan

c. teori interaksi

d. pendekatan holistic

pendekatan proses keperawatan

perbandingan model biomedik dengan keperawatan (Stuart & Sundeen, 1999, hal 55):

MEDIKAL KEPERAWATAN

Vulnerability/Mudah Terkena

Penyakit Resiko

Pandangan model keperawatan terhadap penyimapngan perilaku, asuhan keperawatan berfokus pada respon individu terhadap masalah kesehatan yang actual dan potensial, dengan berfokus pada :

a. rentang sehat sakit

b. teori dasar keperawatan

c. tindakan keperawatan

d. dampak atau hasil tindakan

Perilaku manusia berada pada rentang adaptif – maladaptive, perilaku yang diobservasi merupakan hasil dari berbagai faktor.

Proses terapi menggunakan prosedur proses keperawatan

Pengkajian-diagnose-perencanaan-tindakan eveluasi

Teori keperawatan dengan teori modalitas.

Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan sebuah komentar »
KONSEP PERAWATAN KESEHATAN JIWA

23 Maret 2010 oleh mukhadiono

oleh: Mukhadiono, SST

Seiring dengan perubahan jaman, peran perawat kesehatan jiwa mulai muncul pada tahun 1950-an. Weiss (1947) menggambarkan beda perawatan kesehatan jiwa dengan perawatan umum yaitu adanya terapi sikap. Perawat menggunakan sikap yang baik dalam menyembuhkan pasien.

Dalam mengimplementasikan terapi ini, perawat mendemonstrasikan penerimaan, pengertian tentang klien, meningkatkan interest dan partisipasi. Pada realitas, klien diperlakukan secara individual dan unik, jadi sikap perawat harus sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien.

Perawatan kesehatan jiwa adalah proses berhubungan yang meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang akan menyokong integritas fungsi. Yang dimaksud klien meliputi individu, kelompok, keluarga, organisasi atau masyarakat.

Menurut American Nurses Association (ANA) divisi perawatan kesehatan jiwa, mendefinisikan perawatan kesehatan jiwa sebagai area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu perilaku manusia dan diri sendiri secara terapeutik untuk meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan jiwa klien dan meningkatkan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada.

Beberapa model konseptual perawatan kesehatan jiwa:

1. Model Psikoanalisa

Merupakan model yang pertama dikemukakan oleh Sigmund Freud. Psikoanalisa meyakini bahwa penyimpangan perilaku pada usia dewasa berhubungan dengan perkembangan pada masa anak.

Setiap fase perkembangan mempunyai tugas perkembangan yang harus dicapai. Gejala merupakan symbol dari konflik. Proses terapi psikoanalisa memakan waktu yang lama.

2. Model Interpersonal

Model ini dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan. Sebagai tambahan Hildegard Peplau mengembangkan teori interpersonal perawatan. Pandangan interpersonal terhadap penyimpangan perilaku, teori interpersonal meyakini bahwa perilaku berkembang dari hubungan interpersonal.

Sullivan menekankan besarnya pengaruh perkembangan masa anak-anak terhadap kesehatan jiwa individu.

Kecemasan pertama yang sungguh-sungguh dialami sewaktu bayi pada saat merasakan kecemasan ibu. Selanjutnya kecemasan dihubungkan dengan penolakan/tidak direstui oleh orang-orang yang dekat/penting bagi individu. Jika anak hanya menerima stimulus penolakan atau kecemasan atau kritik, maka anak akan mengembangkan sistem diri yang negatif.

Menurut Sullivan: individu memandang orang lain sesuai dengan yang ada pada dirinya.

Ada 2 dorongan yang dimiliki pada individu:

a. Dorongan untuk kepuasan, berhubungan dengan kebutuhan dasar seperti: lapar, tidur, kesepian, nafsu.

b. Dorongan untuk keamanan, berhubungan dengan kebutuhan budaya seperti penyesuaian norma sosial, nilai suatu kelompok tertentu.

Proses terapi

Mengoreksi pengalaman interpersonal dengan mengalami hubungan yang sehat dengan terapis, klien akan belajar berhubungan interpersonal yang memuaskan dengan re-edukasi dan mengembangkan hubungan saling percaya.

3. Sosial Model

Model ini berfokus pada lingkungan sosial yang mempengaruhi individu dan pengalaman hidupnya. Pandangan sosial terhadap penyimpangan perilaku, kondisi sosial bertanggung jawab terhadap penyimpangan perilaku, perilaku yang dianggap normal pada suatu daerah tertentu mungkin sebagai penyimpangan pada daerah yang lain.

Individu yang sudah dilabel/dicap jika tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma lingkungan, maka perilaku tersebut memerlukan perawatan/dirawat.

Menurut Szazz, individu bertanggung jawab terhadap perilakunya. Individu tersebut harus mampu mengontrol untuk menyesuaikan perilakunya dengan yang diharapkan masyarakatnya.

Kaplan, meyakini bahwa situasi sosial dapat mencetuskan gangguan jiwa. Oleh karena itu, konsep pencegahan primer, sekunder dan tertier sangat penting. Situasi yang dapat menjadi pencetus:

a. Kemiskinan, situasi keuangan tidak stabil, pendidikan tidak adekuat.

b. Kurang mampu mengatasi stress.

c. Kurang support system.

Situasi tersebut di atas dapat diantisipasi dan dapat dicegah.

Proses terapi:

a. Prevensi primer

b. Kesehatan jiwa masyarakat

c. Crisis intervensi

3. Eksistensi Model

Teori ini berfokus pada pengalaman individu pada saat ini dan disini. Pandangan model eksistensi terhadap penyimpangan perilaku, penyimpangan perilaku terjadi jika individu putus hubungan dengan dirinya dan lingkungan. Keasingan akan dirinya dan lingkungan dapat terjadi karena hambatan ataularangan pada diri individu. Individu merasa putus asa, sedih, sepi, kurang kesadaran akan dirinya dan penerimaan diri yang mencegah partisipasi dan penghargaan pada hubungan dengan orang lain.

Klien sudah kehilangan atau tidak mungkin menemukan nilai-nilai yang memberi arti pada eksistensinya.

Proses terapi:

a. Rasional Emotif Therapy, konfrontasi digunakan untuk bertanggung jawab terhadap perilakunya. Klien didorong untuk menerima dirinya, bagaimana adanya bukan karena apa yang akan dilakukan.

b. Terapi Logo, merupakan terapi orientasi masa depan (future orientated therapy). Individu meneliti arti dari kehidupan, karena tanpa arti berarti tidak eksis. Tujuan: agar individu sadar akan tanggung jawabnya.

5. Model Komunikasi

Komunikasi membedakan manusia dengan organisme lain. Semua perilaku mengkomunikasikan sesuatu. Mengerti arti perilaku tergantung dari kejelasan komunikasi antara pengiriman dan penerima.

Penyimpangan terjadi jika pesan yang disampaikan tidak jelas, penyimpangan komunikasi menyangkut verbal dan non verbal, posisi tubuh, kecepatan dan volume suara atau bicara. Proses terapi:

a. Memberi umpan balik dan klarifikasi masalah.

b. Memberi penguatan untuk komunikasi yang efektif.

c. Memberi alternatif koreksi untuk komunikasi yang tidak efektif.

d. Melakukan analisa proses interaksi.

6. Model Perilaku

Dikembangkan oleh H.J. Eysenck, J. Wilpe dan B.F. Skinner. Terapi modifikasi perilaku dikembangkan dari teori belajar (learning theory).

Belajar terjadi jika ada stimulus dan timbul respon, serta respon dikuatkan (reinforcement).

Respon dikuatkan dengan cara pengulangan terhadap sesuatu hal dan pemberi reinforcement.

Proses terapi:

a. desentisasi dan relaksasi

Desentisasi dan relaksasi sering dilakukan bersama-sama.

Klien dapat mengalami cemas dari yang ringan sampai yang berat, dan mempratekkan tehnik relaksasi

b. asertif training ; adalah belajat menggunakan kemampuan berdiri pada kekuatan dan hak sendiri tanpa menyinggung.

c. Positif training

Dipakai untuk mendorong perilaku sosial khususnya klien khronik yang dirawat, pengalaman yang menyenangkan akan mendorong pengalaman pada waktu yang akan datang.

d. Self regulasi, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

- 1 (satu) set standar ketrampilan

- Self observasi

- Self evaluasi

- Self reinforcement

7. Medikal Model

Berfokus pada diagnose penyakit, sehingga pengobatan didasarkan pada diagnose itu.

Medical model terus mengeksplorasi penyebab gangguan jiwa secara ilmiah.

Pandangan medical terhadap penyimpangan perilaku:

Banyak pendapat medical model bahwa penyimpangan perilaku merupakan manifestasi gangguan sistem syaraf pusat (SSP). Dicurigai bahwa depresi dan schizophrenia dipengaruhi oleh transmisi impuls neural, serta gangguan synaptic; yaitu masalah biokimia, faktor lingkungan dan sosial diperhitungkan sebagai faktor pencetus.

Proses terapi:

Hubungan klien dokter merupakan hubungan percaya dan mengikuti rencana pengobatan.

a. pengobatan meliputi jangka pendek dan jangka panjang

b. terapi supportif

c. insight oriented terapi yaitu belajar metoda mengatasi stressor.

8. Model Keperawatan

Pendekatan keperawatan berdasarkan :

a. teori sistem

b. teori perkembangan

c. teori interaksi

d. pendekatan holistic

pendekatan proses keperawatan

perbandingan model biomedik dengan keperawatan (Stuart & Sundeen, 1999, hal 55):

MEDIKAL KEPERAWATAN

Vulnerability/Mudah Terkena

Penyakit Resiko

Pandangan model keperawatan terhadap penyimapngan perilaku, asuhan keperawatan berfokus pada respon individu terhadap masalah kesehatan yang actual dan potensial, dengan berfokus pada :

a. rentang sehat sakit

b. teori dasar keperawatan

c. tindakan keperawatan

d. dampak atau hasil tindakan
Penyebab


Masalah Kesehatan Respon Manusia


Pengobatan Asuhan Keperawatan





Perilaku manusia berada pada rentang adaptif – maladaptive, perilaku yang diobservasi merupakan hasil dari berbagai faktor.

Proses terapi menggunakan prosedur proses keperawatan

Pengkajian-diagnose-perencanaan-tindakan eveluasi

Teori keperawatan dengan teori modalitas.

PERAN BERMAIN DALAM PERKEMBANGAN

PERAN BERMAIN DALAM PERKEMBANGAN

Bermain adalah pekerjaan anak. Dalam bermain anak mempraktekkan secara kontinu proses hidup yang rumit dan penuh stress,komunikasi, dan mencapai hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Di situlah mereka belajar tentang diri mereka sendiri dan dunia mereka, misalnya bagaimana menghadapi lingkungan objek, waktu, ruang, struktur, dan dan orang di dalamnya.
Klasifikasi bermain
Dari sudut pandang perkembangan, pola permainan anak dapat dikategorikan menurut isi dan karakter social.
1. Menurut Isi Permainan
Isi permainan terutama meliputi aspek bermain fisik, meskipun hubungan social tidak dapat diabaikan, kecendrungannya dari sederha ke kompleks.
a. Permainan Sosial-Afektif
Permainan ini membuat bayi merasakan kesenanga dalam berhubungan dengan orang lain. Berbagai cara yang dilakukan orang dewasa yang bisa membuat bayi berespon (seperti bicara, menyentuh, mencium) membuat bayi segera belajar menstimulasi emosi dan merespon orang tua dengan cara tersenyum, mengeluarkan suara, memulai permainan, dan aktifitas.
b. Permainan Rasa-senang
Merupakan pengalaman stimulasi nonsosial yang muncul begitu saja. Objek dalam lingkungan seperti sinar, warna, rasa, bau, dan tekstur menarik perhatian anak, merangsang indra mereka dan memberikan kesenangan. Pengalaman rasa senang berasal ari memegang bahan mentah seperti air, gerakan tubuh seperti diayun, dan dari pengalaman lain yang menggunakan indra dan kemampuan tubuh.
c. Permainan keterampilan
Bayi yang telah mampu menggenggam dan memanipulasi, mereka akan menunjukkan dan melatih kemampuan yang baru mereka kuasai secara terus-menerus dan berulang-ulang. Kemuadian anak akan bertekad untuk berhasil menunjukkan keterampilan sulit yang menimbulkan nyeri dan frustasi, misalnya belajar naik sepeda.
d. Perilaku unoccupied
Anak tidak bermain, tetapi memfokuskan perhatian mereka pada hal yang menarik. Misalnya dengan melamun, memainkan pakian, atau berjalan tampa tujuan.
e. Permainan dramatic (simbolik) atau pura-pura
Permainan ini dimulai pada usia bayi akhir (11-13 bulan) dan merupakan permainan dominan pada anak usia prasekolah (3-6 tahun). Pada tahap ini anak mulai memaknai situasi, manusia, dan dunia. Mainan anak, dan replica benda-benda dapat dijadikan sebagai media untuk memerankan aktivitas orang dewasa misalnya memerankan perang oarng-orang di rumahnya, berperan memakai telepon, menaiki mobil-mobilan, bahkan bisa berkembang pada aspek diluar rumah seperti memerankan peran guru, dokter, perawat dan lain-lain. Aktitas orang dewasa yang mereka perankan terkadang membuat mereka bingung dan stress. Anak yang lebih besar menjalankan tema tertentu, memerankan sebuah cerita, dan menyusun drama itu sendiri.
f. Permainan Game
Permainan yang dlakuakn seorang anak bisa sendirian saja ataupun dengan orang lain. Aktifitas soliter mencangkup permainan yang dimulai ketika anak yang masih sangat kecilberpartisipasi dalam aktifitas repetitive dan berlanjut ke permainan yang lebih rumit yang menatang keterampilan mendiri mereka, seperti menata Puzzle dan bermain kartu. Anak yang sangat muda berpartisispasi dalam permainan imitative sederhana seperi “petak umpet”. Anak prasekolah belajarmenikmati permainan formal yang dimulai dengan permainan pertahanan diri yang ritual dimainkan seperti permainan ring-a-rosy and London Bridge. Anak prasekolah tidak terlibat dalam permainan kompetitif sebab mereka tidak suka dengan kekalahan, akan curang untuk mendat kemenangan, akan berusaha mengubah aturan main, membuat berbagi pengecualian dan kesempatan untuk dirinya. Anak usia sekolah menikmati permainan yang kompetitif seperti bermain catur, dan baseball.

2. Menurut Karakter Sosial Permainan
Interaksi permainan pada masa bayi adalah antara anak dan orang dewasa. Selanjutnya interaksi dengan teman sebaya menjadi hal yang penting dalam sosialisasi. Bayi yang egosentris dan toddler (usia 1-3 tahun) tidak menoleransi penolakan atau penundaan, serta campur tangan.anak usia 5-6 tahun, mampu kompromi dan panengah perselisihan. Tipe-tipe permainannya yaitu:
a. Permainan pengamat
Anak memperhatikan aktifitas dan interaksi anak lain dengan minat aktif tampa terlibat dan berpartisipasi.
b. Permainan tunggal
Anak bermain sendiri dengan mainan yang berbeda dengan anak yang lain ditempat yang sama. Mereka asik sendiri tampa berniat mendekati atau berbicara dengan anak yang lain.
c. Permainan parallel
Anak bermain secara mandiri diantara anak-anak lain dengan mainan yang sama. Mereka tampak kimpak, tetapi tidak saling mempengaruhi, t idak ada assosiasi kelompok, dan tidak bermain bersama
d. Permianan assosiatif
Anak bermain bersama, mengerjakan aktifitas serupa dan sama, tetapi tidak ada organisasi, pembagian kerja, penetapan pemimpin, atau tujuan bersama. Anak meminjam dan meminjami material permainan, saling mengikuti dengan mengendarai wangon, dan sepeda roda tiga. Kadang mengontrol siapa yang boleh bergabung dan siapa yang tidak boleh bergabung dalam kelompok itu.
e. Permainan cooperative
Anak bermain secara berkelompok, mendiskusikan dan merencanakan aktifitas untuk pencapaian akhir. Terdapat rasa saling memiliki dan tidak memiliki yang nyata. Tujuan dan pencapaiannya memerlukan pengorganisaian aktifitas, pembagian kerja dan peran bermian.

FUNGSI BERMAIN
1. Perkembangan Sensorimotor
Aktifitas sensori adalah komponen utama bermain pada semua usia dan merupakan bentuk dominan permainan pada masa bayi. Permainan aktif penting untuk perkembangan otot dan bermanfaat untuk melepas kelebihan energy. Bayi memperoleh kesan tentang diri dan dunia merek amelalui stimulasi taktil, auditorius, visual dan kinestetik. Toddler dan anak prasekolah menyukai gerakan tubuh dan mengesplorasi segala sesuatu di ruangan. Anak yang lebih muda suka berlari, anak yang lebih besar mulai mengembangkan aktifitas yang rumit seperti berlomba, dan naik sepeda.
2. Perkembangan Intelektual
Melalui eksplorasi dan manipulasi, anak-anak belajar mengenali warna, bentuk, ukuran, tekstur, dan fungsi objek. Mereka belajar tentang angka-angka dan bagaimana cara menggunakannya, mereka bisa menghubungkan kata dengan benda, mengembangkan kemampuan berbahasa, memahami abstrak, hingga hubungan spasial seperti naik, turun, bawah atas.
Ketersediaan materi permainan dan kualitas keterlibatan orang tua adalah dua variable terpenting yang terkait dengan perkembangan koognitif selama mas abayi dan prasekolah (Chase,1994)
3. Sosialisasi
Hubungan social pertama bayi adalah dengan ibu. Dengan bermain dengan anak lain mereka belajar membentuk hubungan social dan menyelesaikan masalah terkait dengan hubungan ini. Mereka belajar member dan menerima, tetapi mereka lebih mendengar kritik dari teman sebaya ketimbang dari orang dewasa. Anak mempelajari yang benar dan yang salah, standar masyarakat dan bertanggungjawab atas tindakan mereka.
4. KreatifitasBermain memberikan kesempatan kepada anak untuk berkreasi.mereka bereksperimen dan mencoba ide mereka pada setiap media yang mereka punya. Kreatif biasanya menuntut penyamaaan, sehingga usaha untuk diterima oleh teman sebaya merupakan suatu rintangan upaya kreatif anak sekolah dan remaja.. kreatifitas muncul dari aktifitas tunggal maupun dari pengembangan ide orang lain yang didengar.
5. Kesadaran Diri
Ekplorasi tubuh anak dan kesadarn terpisah dari ibunya , proses identifikasi diri difsilitasi melaluikegiatan bermain. Anak-anak mulai mengenali siapa diri mereka dan dimana posisi mereka. Mereka mulai mengatur tingkah laku sendiri, mempelajari kemampuan sendiri dan membendingkannya dengan kemampuan anak lain. Dalam permaian mereka menguji kemampuan mereka, melaksanakan dan mencoba berbagai peran, dan mempelajari dampak dari perilaku mereka kepada orang lain.
6. Manfaat terapeutik
bermain memberikan sarana untuk melepaskan diri dari ketegangan dan stress yang dihadapi di lingkungannya. Melalui bermain anak dapat mengkomunikasakan kebutuhan, rasa takut, dan keinginan mereka kepada pengamat yang tidak dapat ekspresikan karena keterbatasan keterampilan bahasa mereka.
7. Nilai Moral
Anak belajar tentang benar dan salah di rumah dan sekolah. Selain itu interaksi mereka dengan teman sebaya selama bermain memiliki peran yang penting dalam penbentukan moral mereka. Bila mereka ingin diterima sebagai anggota kelompok, anak harus menaati aturan perilaku yang diterima budaya (mis. Adil, jujur, control diri, dan mempertimbangkan orang lain). Anak segera memperlajari bahwa sebaya mereka kurang toleran terhadap kekerasan dibandingkan orang dewasa dan bahwa untuk mempertahankan tempat dalam kelompok bermain mereka harus menyesuaikan diri dengan standar kelompok tersebut.

MAINAN
Mainan yang sipilih dan diberikan untuk anak dapat memfasilitasi perkembangan mereka. Mainan merupakan replica kecil dari budaya dan alat-alatnya membantu mereka mengsimilasi budaya mereka. Mainan yang memerlukan aktifitas mendorong, menarik, menggulung dan memanipulasi mengajarkan mereka tentang sifat fisika dari benda dan membantu mengembangkan otot dan koordinasi. Aturan dan elemen dasar dari kerja sama dan organisasi dipelajari melalui permainan papan.
Kerena mainan dapat digunakan dalam berbagai cara, bahan mentah mainan yang dapat melatih kreatitas danimajinasi mereka terkadang merupakan bahan yang siap pakai. Misalnya kotak-kotak bangunan dapat digunakan untuk membangun berbagai bentuk, utnutk menghitung, dan mempelajariu bentuk dan ukuran.

Keamanan Mainan
Pemilihan mainan dan alat bermaian adalah upaya bersama antara orang tua dan anak, tetapi evaluasi terhadap keamanannya adalah tanggungjawab orangtua. Lembaga pemerintah tidak mengawasi dan membuat kebijakan tentang semua mainan di pasar. Karenanya orang dewasa yang membeli, mengawasi pembelian, atau mengizinkan anak untuk menggunakan alat bermaian perlu mengevaluasi keamanan alat-alat ini, termasuk mainan yang merupakan hadiah atau maianan yang dibelioleh anak itu sendiri. Mereka juga harus mewaspadai peringatan yang tercantum pada mainan yang tercantum pada mainan yang ditetapkan sebgaai detektif dan diperingatkan oleh pabriknya.